• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
16 Jul

Toxic Shame: Ketika Rasa Malu Menjadi Masalah

by Qonitah Rafiusrani

Hi, Socconians!

Pernahkah kamu merasa malu? Lebih tepatnya perasaan malu yang bercampur dengan perasaan bersalah yang berlebihan karena tidak dapat memenuhi standar yang kamu buat, sehingga kamu memaki-maki dirimu sendiri dengan kata-kata yang tidak pantas diungkapkan? Hal yang kamu alami mungkin bisa disebut sebagai toxic shame.

Apa itu Toxic Shame?

Istilah toxic shame pertama kali diperkenalkan pada 1960-an oleh Sylvan Tomkins, seorang psikolog dan ahli teori dari Amerika. Meskipun terkenal dengan banyak teorinya, tetapi teori afek, dimana mencakup rasa malu (shame), merupakan salah satu teori terkenalnya.

Pada dasarnya, rasa malu adalah emosi, tetapi rasa malu memiliki ikatan fisiologis yang lebih intens daripada banyak emosi lainnya. Rasa malu memicu respons saraf simpatik yang sama seperti rasa takut sehingga membuat individu dalam keadaan melarikan diri (flee), berkelahi (fight), atau diam (freeze).

Ada beberapa respons perilaku umum ketika merasa malu. Bersembunyi dan menarik diri dari sosial merupakan salah satunya. Namun, apabila seseorang memiliki trauma yang terkait dengan rasa malu pada masa kecil dan mengancam keberadaan sosial seseorang, maka dapat memengaruhi representasi diri pada masa dewasa seperti halnya merendahkan diri sendiri atau orang lain, serta adanya penolakan untuk mengungkapkan apa yang terjadi. Hal ini akan memuncak dan akhirnya berujung pada kesepian dan merasa terisolasi. Rasa malu yang dirasakan secara berlebih inilah yang dinamakan toxic shame.

Lebih jelasnya, ciri-ciri toxic shame, adalah sebagai berikut:

  1. Rasa malu yang telah berada di alam bawah sadar, sehingga terkadang seseorang tidak sadar atau menjadikan perasaan malu tersebut menjadi suatu kebiasaan.
  2. Rasa malu yang dialami berlangsung lama dan membekas, tidak hanya dalam hitungan jam atau hari.
  3. Intensitas rasa sakit yang disebabkan oleh perasaan malu lebih besar.
  4. Perasaan malu cenderung datang dari pemikiran diri sendiri, bahkan tidak dibutuhkan kejadian eksternal sebagai pemicu.
  5. Menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap rasa malu yang berlebihan dan kronis, serta sering muncul ketakutan dalam mengalami rasa malu.
  6. Perasaan malu yang dirasakan dapat mengarah pada munculnya gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan perasaan putus asa.
  7. Perasaan malu disertai dengan hal lainnya, seperti sugesti, suara, maupun gambar yang berasal dari kejadian negatif tentang rasa malu di masa kecil atau trauma di masa lalu.
  8. Rasa malu yang dirasakan membentuk perasaan tidak cukup atau tidak mampu yang mendalam.

Pikiran negatif yang otomatis muncul (automatic negative thoughts) di pikiran seseorang yang mengalami toxic shame pada dasarnya berasal dari kepercayaan yang tidak rasional, seperti “Saya tidak layak dicintai”. Selain itu, pikiran dan keyakinan negatif ini dapat disertai dengan pemikiran negatif lainnya, seperti “Saya bodoh”, “Saya tidak menarik”, “Saya gagal”, “Saya orang jahat”, “Saya egois”, “Saya membenci diri saya sendiri”, “Saya seharusnya tidak lahir”, atau “Saya tidak pantas untuk dicintai”.

Lalu,  bagaimana cara menghadapinya?

Menghadapi toxic shame dapat dilakukan dengan berbagai cara. Secara umum, terdapat 4 (empat) cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengatasi permasalahan toxic shame, antara lain:

  1. Mencoba memperluas kapasitas pikiran dalam mengamati suatu hal tanpa diikuti dengan suatu reaksi setelahnya. Dengan hanya mengamati pikiran tanpa bereaksi, kamu lebih dapat cepat menerima, merasa santai, dan tidak terlalu menghabiskan banyak fokusmu untuk merasa cemas akan pikiran tersebut.
  2. Kembangkan rasa empati dan simpati yang lebih besar terhadap diri sendiri. Dengan cara ini kamu dapat menyadari bahwa, seperti semua manusia, terdapat kekurangan dan kelemahan yang kita miliki. Kamu juga dapat menyadari bahwa semua orang bisa membuat kesalahan dan dapat menderita. Kita tidak sendiri, bahkan setiap manusia pasti pernah merasa seperti itu. Don’t be so hard on yourself!
  3. Menjadi "saksi" untuk menangisi luka yang kita rasakan. Dengan menjadi saksi atas perasaan apapun, kita mampu mengidentifikasi dan memproses rasa sakit yang kita rasakan baik rasa sakit yang dialami saat ini ataupun rasa sakit di masa lalu. Rasa sakit, malu, dan kemalangan apapun yang kita rasakan kita ‘saksikan’ dengan bijak, dan berusaha untuk tidak lari atau menghindar, tetapi menjadikan pengalaman dan perasaan itu sebagai suatu pembelajaran.
  4. Maafkan diri kamu atas perasaan, pikiran, atau tindakan terhadap diri kamu yang dulu. Memang sangat mudah untuk menyalahkan diri sendiri di masa lalu, tetapi terkadang sulit sekali untuk memaafkan diri kita sendiri. Oleh karena itu, cobalah memaafkan dirimu, karena kita semua pasti memiliki kesalahan di masa lalu.

Terakhir Socconians, yang terpenting, bekerja sama dan konsultasi dengan psikiater atau psikolog juga dapat membantumu, loh! Cara ini merupakan cara aman untuk melihat dan mengamati perasaan negatif yang telah mengakar pada dirimu, serta bagaimana hal itu berdampak pada cara pandangmu melihat dirimu sendiri hingga saat ini.

Nah, Socconians sudah dapat mengerti dengan istilah toxic shame hingga bagaimana menghadapinya, bukan? Maka dari itu, ayo mawas diri dan bersama menjaga kesehatan mental masing-masing!

Referensi

Penulis: Qonitah Rafiusrani

Editor-in-Chief: Aniesa Rahmania Pramitha Devi

Editor Medis: Astridiah Primacita Ramadhani, S.Psi

Editor Tata Bahasa: Indah Riadiani dan Sulistia Ningsih

  1. Edery, Rivka A. (2019). “Is Chronic Shame a Life Sentence?”. Edelweiss Psychiatry Open Access. Volume 3. Hlm. 22--24.
  2. Gaba, Sherry. (2019). “Toxic Shame: Is it influencing your choice of partner?” Diakses dari laman www.psychologytoday.com pada 20 Oktober 2020.
  3. Golden, Bernard. (2017). “Overcoming the Paralysis of Toxic Shame: An essential step for cultivating healthy anger”. Diakses dari laman www.psychologytoday.com pada 20 Oktober 2020.
  4. Lancer, Darlene. (2019). “What Is Toxic Shame?”. Diakses dari laman psychcentral.com pada 20 Oktober 2020.
  5. Zaslav, Mark R. (1998). “Shame-Related States of Mind in Psychotherapy”. The Journal of Psychotherapy Practice and Research.  Volume 7 (2). Hlm. 154--166.

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2025 All rights reserved.