• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
21 Jul

Stuttering (Gagap): Bukan Kelemahan yang Melumpuhkan

by Selena Aura Puspita

Berbicara adalah kebutuhan. Disimak saat bicara pun adalah kebutuhan. Ketika kebutuhan itu tak terpenuhi dengan baik, berbagai emosi bisa muncul, entah pada diri sendiri atau kepada orang lain.

Stuttering dan Dampaknya

Stuttering adalah gangguan bicara yang ditandai dengan adanya kata atau suku kata berulang, tertahan, atau berkepanjangan. Gejala stuttering berbeda tergantung situasi seseorang, dan biasanya muncul pada anak saat belajar bicara. Stutterer (pengidap stuttering) berharap gejalanya mereda seiring bertambahnya usia, tetapi ada yang tetap mengalaminya hingga dewasa.

Stuttering terjadi di luar kendali. Kata yang ingin diucapkan tahu-tahu “berhenti” di ujung lidah tepat saat akan disampaikan. Kebanyakan orang berusaha berempati pada stutterer dengan berkata, “Tenang, pelan-pelan aja ngomongnya”, tetapi seringkali ungkapan tersebut membuat stutterer tidak nyaman, bahkan frustrasi karena rileks tidak membuat stutterer jadi lancar berbicara. Menghilangkan cemas juga tidak menghilangkan stuttering, meski dapat memperparah gejalanya.

Mustahil bagi non-stutterer untuk merasakan apa yang dirasakan stutterer. Parahnya, ada yang menganggap wajar gejala stuttering sebagai candaan, menjadikannya label, dan bahkan nama panggung seseorang.

Jangan Disembunyikan

Demi menghindari perasaan tertolak, stutterer cenderung menyembunyikan kondisi mereka. Mereka takut berbicara; takut pada reaksi orang lain—baik ekspresi maupun gestur—saat mendengar mereka berbicara.

Kebiasaan menyembunyikan kondisi stuttering dapat menurunkan kualitas hidup stutterer. Secara tidak langsung, ini menambah tekanan bagi stutterer, sedangkan keterbukaan merupakan awal perubahan baik karena menghadirkan penerimaan dan dukungan sosial.

Bukan Kelemahan yang Melumpuhkan

Banyak stutterer percaya bahwa yang dilihat dari mereka adalah kegagalan, ditambah adanya stigma bahwa stuttering merupakan indikasi adanya retardasi mental. Faktanya, IQ stutterer rata-rata 14 persen lebih tinggi dibanding non-stutterer. Saat non-stutterer cenderung hanya memikirkan ide yang akan mereka sampaikan, stutterer terbiasa tak hanya memikirkan hal tersebut, tetapi juga cara untuk menyampaikannya—sepanjang pembicaraan berlangsung. Hebat, bukan?

Percayalah bahwa stuttering bukan penghambat ya, Socconians! Sebenarnya, apa pun dapat menghambat kita bila kita mengizinkannya jadi penghambat kita. Maka dari itu, ada baiknya kita fokus saja pada potensi yang kita miliki.

Sadari Potensimu

Stuttering dapat berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan pengidapnya. Namun, kabar baiknya, ada cara bagi stutterer melindungi diri dari dampak tersebut, yaitu dengan meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri sendiri untuk melakukan suatu tindakan dengan sukses untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Terlepas dari kelemahanmu, sadari bahwa pasti ada kekuatan besar dalam dirimu, pasti ada hal yang kamu suka, yang mahir kamu kerjakan, yang bisa kamu kembangkan. Yakinlah pada potensimu, maka keyakinan itu akan menjadi bahan bakar untukmu mengatasi segala kelemahan yang ada. Bukan berarti semuanya akan jadi lebih mudah, melainkan berarti kamu akan menghadapi semuanya dengan hebat.

Beranilah

Ada banyak contoh stutterer yang berani. Rowan Atkinson (pemeran Mr Bean dan Johnny English) adalah stutterer yang aktif di dunia hiburan. George VI, Raja Inggris sebelum Ratu Elizabeth II, juga adalah seorang stutterer yang berhasil berpidato untuk rakyatnya saat memasuki Perang Dunia II. Oh ya, dalam rangka meningkatkan stuttering awareness, kisah tersebut diangkat dalam film keren berjudul The King’s Speech loh, Socconians!

Selain itu, banyak juga kisah stutterer di channel TED Talk, salah satunya adalah Meghan Washington, penyanyi dari Australia.

Mendengar kisah stutterer yang glow up setelah berani tampil sebagai stutterer dapat melegakan hati, menginspirasi, serta meneguhkan sesama stutterer untuk jadi berani dan bersinar juga. Kisah mereka adalah bukti bahwa tidak apa-apa untuk menjadi stutterer dan tidak apa-apa jadi diri sendiri.

Kamu Tidak Sendiri

Tempatkan dirimu di lingkungan suportif. Bila kamu adalah seorang stutterer, ada Indonesian Stuttering Community (ISC), tempat untuk saling menguatkan dan meneladani satu sama lain. ISC juga punya podcast di Spotify loh, Socconians!

Selain yang berkaitan dengan stuttering, bila ada perasaan yang mengganggu keseharianmu, bicarakanlah dengan orang yang tepat ya, Socconians. Mengenali perasaan dan terbuka tentangnya adalah bukti bahwa kita mengutamakan kesehatan mental kita.

Referensi

Penulis: Selena Aura Puspita

Editor-in-Chief: Aniesa Rahmania Pramitha Devi

Editor Medis: Pandhit Satrio Aji, S.Psi

Editor Tata Bahasa: Iis Sahara

Sumber Tulisan : 

  1. Thilaka Ravi. (2014). Stuttering/Stammering. Diakses pada 10 Oktober 2020, dari situs web ****https://www.medindia.net/patients/patientinfo/stuttering.htm
  2. Beth Gilbert. (2020). Stuttering: Myth vs. Fact. Diakses pada 11 Oktober 2020 dari situs web https://psychcentral.com/lib/stuttering-myth-vs-fact/
  3. Michael Sugarman. (1980). It’s O.K. to stutter. Journal of Fluency Disorders. 5(1980) 149-157. Diakses pada 10 Oktober 2020 dari situs web https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/0094730X80900066
  4. Tim penulis The Stuttering Foundation. Who Knew? Mr Bean? Diakses pada 10 Oktober 2020 dari situs web https://www.stutteringhelp.org/content/who-knew-mr-bean
  5. Tim penulis TED. (2014). Megan Washington. Diakses pada 28 Oktober 2020 dari situs web https://www.ted.com/speakers/megan_washington
  6. Alice Carter, Lauren Breen, Scott Yaruss, Janet Beilby. (2017). Self-efficacy and quality of life of adults who stutter. Journal of Fluency Disorders. 54(2017) 14-23. Diakses pada 28 Oktober 2020 dari situs web https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0094730X17300748
  7. Ben Johnson. The King’s Speech. Diakses pada 28 Oktober 2020 dari situs web https://www.historic-uk.com/HistoryUK/HistoryofBritain/The-Kings-Speech/
  8. Tim Locke. (2010). The King’s Speech: Raising Stuttering Awareness. Diakses pada 10 Oktober 2020 dari situs web https://www.webmd.com/brain/news/20101228/the-kings-speech-raising-stuttering-awareness
  9. Michael Boyle, Rodney Gabel. (2020). “Openness and progress with communication and confidence have all gone hand in hand”: Reflections on the experience of transitioning between concealment and openness among adults who stutter. Journal of Fluency Disorders. 65(2020) 105781. Diakses pada 12 Oktober 2020 dari situs web https://doi.org/10.1016/j.jfludis.2020.105781

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2025 All rights reserved.