• Home
  • Article
  • News
  • Partnership
  • Community
  • Kolaborasi
  • Career
  • Login
14 Jul

Atasi SSD dengan CBT

by

Hi, Socconians!

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya memiliki penyakit. Ya, semua orang pasti menginginkan tubuh yang sehat agar bisa melakukan aktivitas tanpa hambatan. Namun, ternyata ada sebagian orang yang merasakan cemas secara berlebihan dan menganggap dirinya memiliki penyakit. Padahal, kenyataannya tubuh mereka baik-baik saja. Kepercayaan itu disebut dengan Somatic Symptom Disorder (SSD).

Somatic Symptom Disorder atau bisa disebut dengan gangguan somatisasi adalah satu kondisi yang melibatkan keluhan fisik yang terjadi tanpa adanya bukti patologi fisik untuk menjelaskan dari mana datangnya keluhan-keluhan fisik tersebut. Orang dengan gangguan somatisasi umumnya tidak berbohong mengenai apa yang mereka rasakan. Rasa sakit yang mereka rasakan benar-benar nyata, terlepas dari apakah ditemukan penyebabnya atau tidak. Bahkan, gejala sakit yang mereka rasakan akibat gangguan ini dapat menyebabkan stres emosional yang berat dan menimbulkan kecemasan yang berlebihan hingga menghambat aktivitas mereka sehari-hari.

Gangguan ini lebih sering dialami wanita daripada pria. Namun, gangguan ini dapat menyerang siapapun pada usia berapapun. Bahkan, gangguan somatisasi ini rentan terjadi pada remaja karena di usia tersebut sering terjadi pergolakan emosional dari proses pencarian jati diri mereka. Maka dari itu, remaja cukup membutuhkan banyak perhatian dari orang tua atau pengasuhnya.

Penyebab gangguan somatisasi sendiri belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, gangguan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

  1. Faktor genetik dan biologis, seperti sensitivitas yang berlebihan terhadap rasa sakit.
  2. Pengaruh keluarga, genetik, lingkungan, atau semuanya.
  3. Sikap negatif, seperti rasa cemas yang berlebihan saat mengalami penyakit dan gejala tubuh.
  4. Mengalami penurunan kesadaran emosional, yang menyebabkan penderita lebih memikirkan masalah fisiknya daripada emosionalnya.
  5. Pengalaman yang dirasakan. Misalnya, penderita “menikmati” perhatian atau keuntungan yang diperoleh dari memiliki penyakit tertentu.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meringankan atau mengurangi kecemasan akibat gangguan ini. Salah satunya dengan melakukan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) di bawah pengawasan psikolog atau terapis yang sudah tersertifikasi. Cognitive Behavioral Therapy atau Terapi Perilaku Kognitif merupakan salah satu metode yang bertujuan untuk mengurangi stres dan ketidak-berfungsian secara psikologis. Metode ini merupakan perpaduan antara terapi perilaku dan terapi kognitif karena keduanya saling berhubungan dan termasuk aspek penting yang memengaruhi stres emosional yang berat. Terapi perilaku bertujuan untuk mengubah tingkah laku yang dianggap bermasalah dan tidak diinginkan menjadi tingkah laku yang lebih baik dan dapat diterima. Kemudian, terapi kognitif bertujuan untuk mengetahui bagaimana seseorang memproses suatu kejadian hingga menghasilkan tingkah laku atau emosi tertentu.

Terapi perilaku kognitif bisa dilakukan dalam sesi personal, baik bertatap muka maupun melalui media seperti telepon dan panggilan video. Terapi juga bisa dilakukan dengan cara berkelompok, seperti bersama keluarga maupun bersama orang-orang yang mengalami hal serupa. Bahkan, ada beberapa kondisi yang memungkinkan terapi bisa dilakukan secara online melalui komputer.

Pada umumnya, terapi perilaku kognitif dilakukan selama 30-60 menit dalam tiap sesinya. Sebelum dilakukan, biasanya terapis dan pasien akan saling memastikan bahwa terapi ini merupakan terapi yang tepat untuk mengatasi masalah pasien. Terapis juga akan memastikan bahwa pasien akan merasa nyaman selama terapi berlangsung. Pada tahap pertama, terapis akan melakukan asesmen atau mendalami masalah yang dimiliki pasien. Terapis tentunya perlu memastikan lagi situasi yang dianggap bermasalah secara jelas, bagaimana biasanya pasien merespon situasi tersebut atau apa yang dirasakan apabila situasi itu terjadi, dan dampak apa yang pasien alami terhadap situasi tersebut, baik secara tingkah laku maupun emosi yang dirasakan.

Terapis juga akan menanyakan latar belakang dan masa lalu pasien. Walaupun terapi lebih fokus pada kondisi saat ini, tetapi bisa saja penyebab dari masalah yang dialami pasien berhubungan dengan masa lalu. Terapis juga akan mengajukan sejumlah pertanyaan yang mungkin menjadi faktor penyebab pasien mengalami masalah tersebut, seperti riwayat medis atau peristiwa tertentu.

Dari informasi di tahap pertama, terapis akan menentukan tipe intervensi apa yang sesuai dengan fokus masalah pasien berdasarkan emosi, pikiran, dan tingkah laku pasien yang perlu diubah. Beberapa contoh tipe intervensi, antara lain cognitive restructuring, relaxation technique, dan social skill training. Tipe-tipe tersebut bisa saja dilakukan secara bersamaan apabila sesuai dengan masalah yang tengah dihadapi pasien. Di tahap kedua, terapis akan menjelaskan tipe intervensi yang akan digunakan, tujuan dari tipe intervensi tersebut, hal-hal apa saja yang perlu dilakukan pasien, dan segala informasi teknis agar pelaksanaan intervensi dapat berjalan dengan baik dan tepat. Tahap ini bisa berlangsung dalam beberapa kali sesi pertemuan antara terapis dan pasien.

Setelah tahap kedua selesai dilakukan, tahap terakhir yaitu terapis akan melakukan evaluasi atau penilaian dari proses terapi yang sudah berjalan. Apakah sudah ada perubahan yang muncul, baik dalam bentuk intensitas, frekuensi, atau lama durasi dari pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang dianggap negatif oleh pasien? Selain itu, terapis juga akan menilai apakah situasi yang bermasalah dirasakan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya pernah pasien alami? Apabila evaluasi tersebut menunjukkan hasil positif, maka intervensi tersebut akan terus dilakukan hingga pasien dapat menyelesaikan masalahnya. Namun, apabila hasil evaluasi tidak menunjukkan perubahan ke arah lebih baik, terapis dapat mengulangi kembali dari tahap pertama untuk mencari tahu lagi masalah yang pasien miliki.

Itulah cara mengatasi gangguan somatisasi dengan terapi perilaku kognitif. Semoga bermanfaat dan memotivasi kamu untuk segera menghubungi terapis dan melakukan terapi perilaku kognitif ya apabila membutuhkan. Yang terpenting, meski semua sesi terapi sudah dilalui, semua hal positif yang diperoleh dari terapi harus tetap diterapkan. Hal ini penting, agar gangguan tersebut tidak muncul kembali di masa depan.

Referensi

Penulis: Reza Firnanto, April, dan Sepriandi

Editor-in-Chief: Alif Pradhana dan Muhammad Azimi

Editor Medis: Lisyanti, S.Psi

Sumber Tulisan:

  1. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fifth Edition. Washington DC:American Psychiatric Association.
  2. Hooley, J.M., Butcher, J., Mineka, S., & Nock, M.K., Susan Mineka. (2018). Psikologi Abnormal Edisi 17. Jakarta Selatan: Salemba Humanika.
  3. Selvera, Rizky. (2013). “Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Menurunkan Keyakinan Irasional pada Remaja dengan Gangguan Somatisasi”. Diakses pada 15 Juni 2019 dari website E-Journal Universitas Muhammadiyah Malang.
  4. Teater, B. (2010). An introduction to applying social work theories and methods. Basingstoke: Open University Press.
  5. Tim Penulis Alodokter. (2018). “Ketahui Apa Itu Terapi Perilaku Kognitif”. Diakses pada 15 Juni 2019 dari website Alodokter.
  6. Tim Penulis Mayo Clinic. (2018). “Somatic symptom disorder”. Diakses pada 15 Juni 2019 dari website Mayo Clinic.
  7. Vonk, M.E., & Early, T.J. (2009). Cognitive-behavioral therapy. In A.R. Roberts (Ed). Social Workers’ Desk Reference (2nd ed.). (pp. 242-247). New York: Oxford University Press.
  8. Widyawinata, Rena. (2018). “Apa Itu Gangguan Somatisasi?”. Diakses pada 15 Juni 2019 dari website Hello Sehat.

Artikel Lainnya!

14 Aug

4 Cara untuk Meningkatkan Self-Image Kita

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Self-image adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri secara baik atau buruk. Jika kita seringkali membanding-bandingkan diri kita dan membentuk sebuah pemikiran, “Kalau kita tidak sukses (seperti yang lain), kita tidak berharga”. Alhasil, self-image kita akan merosot. Berikut empat cara untuk meningkatkan self-image kita!

Read More
12 Aug

Meningkatkan Kualitas Hubungan: Know Yourself Better

by Michelle Adi Nugraha, S. Psi.

Apakah Socconians sudah mengenali diri kalian lebih baik? Dengan mengenali diri kita sendiri, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan diri kita sendiri, lho! Selayaknya ketika kita ingin berkenalan dengan orang lain, mengenali diri kita sendiri menggunakan pendekatan yang serupa.

Read More
10 Aug

Mengetahui Lebih Banyak Tentang Toxic Relationship

by Rizka Siti Nur Rachmawati, S.Psi

Socconians pernah dengar apa itu toxic relationship? Saat ini tidak jarang ditemui bahwa apa yang kita anggap tidak sehat belum tentu orang lain juga akan sependapat. Ada beberapa hal dasar yang perlu sama-sama Socconians ketahui tentang tanda-tanda hubungan toxic relationship. Yuk, simak selengkapnya di artikel berikut ini!

Read More

Get to know us at please send email to halo@socialconnect.id

© Social Connect 2019-2025 All rights reserved.